Kongres HITI X diselenggarakan pada tanggal 6-8 Desember di Universitas Negeri Solo.
HITI sendiri merupakan wadah berkumpulnya para ahli dibidang ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tanah yang senantiasa berusaha mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang dinyatakan dalam Mukadimah UUD 45, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hasil Seminar HITI
1. Sebagai bangsa dan negara yang besar serta kekayaan sumberdaya hayati yang melimpah maka pengelolaan tanah dan hubungan antara tanah dan kehidupan yang menjadi fokus ruang-lingkup kerja HITI menjadi sangat vital bagi perwujudan cita-cita bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara menghadapi berbagai masalah yang berakar pada tanah seperti :
a. Ketimpangan penguasaan, kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah;
b. Ketimpangan spasial dan sosial;
c. Kerusakan tanah yang mengakibatkan banjir, longsor, kekeringan, kebakaran, produktivitas yang tak kunjung dapat dinaikkan (leveling off);
d. Masalah lingkungan : pencemaran, emisi gas rumah kaca, pemanasan global;
e. Keterbatasan produksi berbagai bahan pangan seperti yang ditunjukkan oleh banyaknya jenis dan jumlah bahan pangan yang diimport (beras, gula, daging, kacang-kacangan, buah dan sayuran dan bahkan garam;
f. Konflik penggunaan dan pemanfaatan tanah (landuse);
g. Sengketa dan konflik penguasaan tanah;
h. Pengangguran;
i. Kemiskinan;
2. Sehubungan dengan itu maka pemahaman ilmu-ilmu tanah yang mempunyai berbagai dimensi: spasial, ekologi, ekonomi, politik, sosial dan budaya menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa dan negara di atas.
3. Namun sayang berbagai kebijakan yang diambil dalam mengatasi berbagai persoalan di atas tidak fundamental oleh karena tidak menggunakan pemahaman ilmu-ilmu tanah yang bersifat mendasar.
4. Beberapa kebijakan pemerintah yang kurang mempertimbangkan konsep-konsep ilmu-ilmu tanah dan berpotensi menimbulkan masalah sebagai berikut:
a. Intruksi Presiden No. 10/2011 tentang Penundaan Pemberian Ijin Baru dan Penyempurnaan tatakelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut menunjukkan bahwa seluruh lahan gambut termasuk wilayah yang harus dilakukan penundaan ijin, padahal berdasarkan pengetahuan ilmu tanah banyak wilayah lahan yang dapat dikembangkan dan bahkan telah berkembang sebagai kawasan budidaya sejak puluhan tahun yang lalu. Kondisi ini akan menimbulkan permasalahan di lapangan
b. Berdasarkan Undang-Undang 26/2007 tentang Penataan Ruang, daerah harus menyusun RTRW, setelah RTRW ditetapkan, bagaimana implementasi penatagunaan tanah pada tanah yang telah dikuasai masyarakat atau telah diberikan haknya. Disamping itu perlu ada mekanisme dimana penatagunaan tanah dapat memberikan masukan dalam penyusunan atau revisi RTRW. Untuk menjawab masalah tersebut diperlukan kepakaran ilmu tanah dalam spektrum yang luas tersebut agar tanah untuk kesejahteraan dan keberlanjutan dapat diwujudkan.
c. Kebijakan pangan nasional saat ini sangat bersifat reaktif dan tidak jelas arahnya. Persoalan pangan nasional perlu direspon dengan kebijakan yang bersifat fundamental yang mana pengetahuan dan ilmu-ilmu tanah dapat berkontribusi secara signifikan
d. Konversi penggunaan lahan pertanian ke penggunaan lahan non pertanian terus berlangsung meskipun sudah ada Undang-undang No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Peraturan pemerintah yang mengikutinya telah diterbitkan, padahal menurut ilmu-ilmu tanah tidak semua tanah dapat digunakan sebagai lahan pertanian yang produktif dan berkelanjutan. Oleh karena itu maka konversi lahan pertanian pangan yang produktif perlu dihentikan, dan alokasi penggunaan lahan non pertanian harus diarahkan pada tanah-tanah yang kurang subur.
e. Keputusan Menteri Pertanian no 70/2011 tentang Pupuk Organik tidak sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu tanah sehingga berakibat bahwa pupuk organik yang dijual berdasarkan kriteria standar Keputusan Menteri tersebut bukan pupuk organik, tetapi dapat saja berupa bahan tanah mineral yang kaya bahan organik.
f. Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Rawa yang diinisiasi oleh Kementrian PU, dan RPP Gambut oleh Kementerian Lingkungan Hidup merupakan satu kesatuan yang seharusnya tidak bertentangan, namun saat ini kedua RPP tersebut masing-masing masih berdiri sendiri yang tidak saling berhubungan. Agar kedua RPP tersebut dapat bersinergi, ilmu-ilmu tanah dapat dipakai untuk menjembatani permasalahan tersebut.
g. Dalam usaha pertambangan perlu rincian kegiatan pasca tambang, biasanya mencantumkan kriteria konservasi tanah pucuk (top soil) yang ketebalannya hanya sekitar 20 cm. Kriteria ini tidak rasional berdasarkan ilmu tanah, seyogyanya ketebalan tanah pucuk yang harus dikonservasi disesuaikan dengan rencana peruntukan, misalnya bila untuk tanaman keras maka lapisan tanah yang harus dikonservasi adalah lebih dari 1.5 m.
h. Berbagai isu lingkungan seperti pencemaran, gas rumah kaca (GRK), pemanasan global dsb, sering direspon dengan kebijakan-kebijakan yang mengabaikan pengetahuan dan ilmu tanah, padahal tanah adalah matrik dasar sistem lingkungan hidup yang mendukung kehidupan. Oleh karena itu maka kebijakan lingkungan perlu mempertimbangkan ilmu tanah.
Hasil Kongres HITI:
1. Menyetujui peristilahan tanah: dalam bahasa Inggris: clay = klei, loam = lom, dan plastic = plastis. HITI akan melaporkan hasil kesepakatan ini kepada Komisi Istilah di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kemudian HITI akan mensosialisasikan dan menggunakan istilah-istilah tersebut dalam komunikasi ilmu tanah.
2. HITI menyepakati akan membuat Sistem Klasifikasi Tanah Nasional. Untuk tujuan itu, HITI akan membentuk Panitia Kerja Klasifikasi Tanah Nasional yang berkerjasama dengan lembaga/instansi terkait lainnya. Sistem tersebut akan dibangun berdasarkan data tanah yang telah dimiliki dan didokumentasikan oleh Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian.
3. Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi dan issue-issue yang berhubungan dengan tanah dan lingkungan yang semakin meningkat maka ruang lingkup HITI terus berkembang sesuai dengan tantangan. Untuk mengantisipasi perubahan tersebut Kongres menyetujui perubahan beberapa poin AD/ART. Kongres menyetujui pemekaran Komda Kalimantan menjadi Komda Kalsel, Komda Kalbar, Komda Kalteng, dan Komda Kaltim
4. Mendorong perguruan tinggi yang semula/masih memiliki Program Studi Ilmu Tanah agar segera mengajukan atau memperpanjang Program Studi Ilmu Tanah ke Dirjen Dikti. HITI akan mengawal dan mendorong Dirjen Dikti untuk segera memproses pengusulan pembukaan atau perpanjangan
5. Kongres Nasional XI HITI tahun 2015 akan dilaksanakan di Jawa Timur oleh Komda Jawa Timur.
6. Sebagai Ketua Umum HITI Periode 2011-2015 adalah Dr. Yuswanda A. Temenggung yang terpilih secara aklamasi dalam kongres yang dihadiri oleh sekitar 400 orang anggota HITI.
Surakarta, 7 Desember 2011.
0 komentar:
Posting Komentar